Belum berhenti juga hujan turun, melahap
hampir seluruh waktu yang dia perkirakan untuk menempuh perjalanannya. Vanilla
late yang tadi mengepulkan asap tipis sekarang telah dingin seiring dengan
berkurangnya volume cangkir merah itu. Sebuah penggambaran yang begitu relevan
dengan suasana hati si peminumnya. Semangat yang tadi menggebu perlahan surut
dan hanya menyisakan sedikit harapan. Harapan untuk hujan segera reda dan ia
bisa pergi menemui perempuan itu. Setengah jam kemudian dia beranjak dari
kursinya. Memakai helm dan bertekad menembus saja hujan deras yang nyaris
mengaburkan pandangan. Peduli amat bajunya basah. Yang terpenting ia tidak
mengecewakan perempuan itu karna harus menunggunya lama. Bukankah pertemuan
hari ini sudah direncanakan sejak seminggu yang lalu. Harusnya dia bisa lebih
siap dengan kemungkinan yang dapat menghambatnya hari ini. Termasuk
mempersiapkan hal kecil seperti jas hujan untuk menghadapi hujan lebat seperti
sekarang.
Akhirnya
dengan setelan kemeja dan celana jeans yang telah dia seterika rapi dan
beberapa kali dia semprotkan parfum iapun memacu motornya meninggalkan warung
tempatnya berteduh tadi. Sayup-sayup terdengar ada seorang wanita yg ia rasa
memanggilnya.
"Maaaaaasss
Maaaaasssss.."
Ia
menghentikan laju motornya dan menoleh ke belakang. Benar saja, seorang wanita
dgn menggunakan payung kuning berdiri di tengah jalan dan memanggilnya.
"Maaasssss
belum bayar..."
Astaga!!
Diapun
segera memutar balik motornya di jalanan yg sepi itu. Saat sampai di warung ia
kemudian membuka jok motornya untuk mengambil dompet dan membayar vanilla late
dan indomie rebus yang tadi ia pesan.
"Maaf
ye mpok, khilaf. Hehehe."
Mbak
penjaga warung itu mencibir.
Ia
pun kembali meneruskan perjalanannya yang dingin. Kendaraan roda duanya itu
terus ia pacu secepat mungkin. Ia perkirakan saat itu ia sudah telat hampir
satu jam. Perasaan tidak enak terus menerus menguasai dirinya, mempengaruhinya
untuk memacu motornya lebih cepat lagi.. lebih cepat lagi. Bayangan wajah
perempuan yg sedang menunggunya terus menerus muncul dalam benaknya dan tak
dapat dihilangkan. Harapan yang manis juga turut membuatnya menjadi tak sabar
untuk cepat sampai di tempat itu.
Sampai
pada detik roda depan motornya menabrak lubang jalan yang dalam dan tersamarkan
genangan air. Detik itu juga motornya bagai melayang di udara lalu kemudian
jatuh menimbulkan bunyi yang keras ketika membentur aspal. Ia pun terpental
jauh di depan motornya sendiri.
Argggh!!
Desah kesakitan yang keluar dari mulutnya hanya didengar oleh telinganya
sendiri di dalam helm. Bayangan wanita itu sesaat kemudian hilang, digantikan
rasa sakit yang begitu kuat pada bagian bahu dan siku tangan kirinya. Kemudian
pandangannya berubah menjadi gelap, setelah itu tubuhnya terasa melayang.
Aw!
Desahnya ketika ia bergerak, ia merasakan sakit pada bagian siku dan bahu
kirinya. Tak hanya itu, pergelangan kaki kanannya juga terasa ngilu saat
digerakan. Ia mencoba bangkit untuk duduk, lalu mengedarkan pandangan mencari
keberadaan motornya di kegelapan. Ia menemukan motornya tergeletak di tengah
jalan tak jauh dari tempatnya berada. Kali itu ia memaksakan berdiri dan
berjalan perlahan menghampiri motornya, tangannya memegangi bahunya yang
kesakitan. Ia juga merasa luka pada sikunya begitu perih. Goresan aspal
berhasil mengoyak kemeja dan kulitnya.
Begitu lengkap penderitaannya malam itu.
Rasa sakit ditubuhnya, rasa tidak enak pada perempuan itu, dan juga rasa kesal
atas apa yang terjadi pada motornya bercampur menjadi satu. Ingin sekali
rasanya ia berteriak untuk menyalahkan keadaan. Tapi akalnya bicara itu hanya
hal sia, karena yg harus ia lakukan sekarang adalah terus mendorong motornya
untuk menemukan sebuah bengkel.
Hujan
berangsur mereda ketika ia melintasi area persawahan. Selama puluhan menit ia
mendorong motornya. Dari balik kaca helmnya ia melihat pemukiman warga.
Beberapa rumah berjajar di tepian jalan. Setelah ia bersabar dalam diam,
akhirnya ia menjumpai sebuah bengkel. Ia mempercepat langkahnya, keadaan itu
terasa menyiksa mengingat kakinya yg kesakitan karna keseleo. Setelah sampai di
bengkel ia langsung membuka jok motor dan mengambil dompet serta ponselnya. Ia
segera menghubungi perempuan itu. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.25
wib, itu artinya ia sudah terlambat dua jam lebih.
Ada
beberapa panggilan tak terjawab dari perempuan itu ketika ia menghidupkan
ponselnya.
-Maafin
aku ya Nda, kamu pasti sekarang sudah pulang. Sekali lagi aku minta maaf, motor
aku mogok kena banjir. Sekarang aku masih di bengkel-
Tulisnya
pada pesan singkat, ia sedikit berbohong.
Tak
perlu waktu lama untuk mendapat balasan. Perempuan itu membalas pesan
singkatnya bahkan sebelum ia menutup ponselnya.
-Gpp
Dy. Aku bakal nunggu kamu sampe kafenya tutup-
Ada
secercah kebahagiaan tersirat pada wajahnya. Perempuan itu begitu setia dan ucapannya
selalu mampu membuatnya tenang. Ia tahu bahwa kafe tempat mereka janji bertemu
tutup pukul 23.30 wib.
"Kecelakaan
dmn?" Tanya pemilik bengkel.
"Di
dekat perkebunan yg banyak pohon palem itu Bang. Banyak lubang besar."
"Maa..
Mamaaaa.. ini ada yg kecelakaan coba tolong diobatin." Teriak si pemilik
bengkel pada istrinya.
"Ngga
apa-apa Bang, gak usah repot-repot."
"Kalau
kau jadi aku, jika ada pelanggan yg kecelakaan apa kau akan merasa direpotkan
hanya untuk bantu mengobatinya."
Ucapan
si pemilik bengkel berhasil membuatnya tak dapat berbasa-basi lagi. Ia duduk
pasrah saja seraya menahan sakit ketika istri si pemilik bengkel membersihkan
dan mengobati lukanya. Luka disikunya saat itu dibalut dgn perban, memar pada
bahu dan pergelangan kakinya yang keseleo diolesi minyak cimande. Sementara si
pemilik bengkel coba memperbaiki kerusakan pada motornya.
"Ini
perlu diganti lampu sama kaca spionnya. Kebetulan stoknya kosong. Kau tinggal
dulu saja, besok sore bisa kembali lagi."
"Saya
cuma perlu motornya bisa hidup lagi Bang. Soal yang lain-lain biar saya urus
besok. Saya ada keperluan mendesak skrg."
"Mana
bisa kau pergi dengn motor kau dalam keadaan macam ini. Nanti yg ada malah
makin parah kau kecelakaan. Kau minta tolong saja dulu sama teman kau."
"Tidak
apa-apa Bang. Saya bisa lebih hati-hati." Kemudian ia tersenyum,
memberikan isyarat kalau keinginannya tidak dapat ditawar lagi.
Si
pemilik bengkel hanya mendengus kasar seraya coba menyalakan motor itu.
Dan..
Berhasil.
Motor itu dapat menyala.
Akhirnya
setelah mengucapkan terimakasih dan membayar biaya perbaikan, dengan setelan
kemeja dan celana jeans yg basah kuyup dan robek tergores aspal, ia memacu
motornya dgn hati-hati meninggalkan bengkel itu. Sayup-sayup terdengar ada
seorang laki-laki yang ia rasa memanggilnya.
"Dek..
Deeek.." si pemilik bengkel setengah berlari ke arahnya.
"Iya
Bang."
"Ini
Kau pakai saja jaket Abang. Kasian itu perbanmu nanti basah kena gerimis."
Ia
tersenyum haru. "Terimakasih banyak Bang. Besok saya balikin."
Si
pemilik bengkel itu hanya tersenyum. Sementara ia memakai jaket berwarna hitam
yang diberikan si pemilik bengkel.
Tibalah
ia di Grand Garden, sebuah kafe outdoor bernuansa romantis yang terletak di
Bekasi. Lampu-lampu menyala temaram seperti cahaya bulan. Cuaca setelah hujan
terasa begitu dingin. Suasana kafe begitu sepi meskipun malam itu adalah malam
minggu. Banyak meja-meja yang kosong, terutama meja-meja yang ada di bagian
taman. Entah karna hujan atau karna pengunjungnya sudah meninggalkan kafe itu
sebelum ia datang. Pandangannya kemudian tertuju pada satu meja. Dimana di sana
ada perempuan yang menunggunya sejak jam delapan tadi. Ia duduk dgn wajah
bosan. Kemudian mata mereka bertemu ketika perempuan itu sedikit menengadah.
Mereka saling melemparkan senyum.
"Maafin aku ya Nda udah buat kamu nunggu
lama."
"Kamu
udah brp kali minta maaf Dy?"
Ia
tersenyum, menunggu apa yg akan dikatakan Manda selanjutnya. Jantungnya
berdegup semakin cepat.
"Sebenernya
tadi aku sudah mau pulang. Tapi aku rasa harus ngomong langsung soal ini ke
kamu. Dan aku tidak bisa lebih lama lagi membuat kamu menunggu." Manda
entah mengapa, ia menitikan air mata.
Melihat
hal itu, Aldy mulai dapat menerka jawaban apa yg akan dikatakan Manda.
"Aldy,
aku juga suka sama kamu. Setiap saat, tak kenal waktu, entah pagi, siang atau
tengah malam sekalipun, selama beberapa tahun terakhir kita dekat, aku selalu
nunggu kamu mengungkapkan perasaan itu ke aku."
Ia
tak bergeming, ia merasa bodoh. Ternyata Manda selama ini memiliki perasaan yg
sama sepertinya.
"Demi
Tuhan, kalau saja kamu mengungkapkannya satu hari sebelumnya. Tanpa pikir
panjang aku akan menerima kamu."
Aldy
berusaha tersenyum, mengerti dengan maksud dari ucapan Manda. Kata demi kata yang
keluar dari mulut perempuan yang selama ini ia puja bagai mengoyak jantungnya,
melebihi apa yang dilakukan aspal pada kemeja dan kulitnya.
"Aku
minta maaf, harusnya aku langsung menjawabnya saat itu juga. Tapi ternyata aku
butuh waktu lebih untuk bisa mengikhlaskan kamu." Ucap Manda lagi di sela-sela
tangisnya. "Tapi aku tidak boleh egois, aku udah menerima dia dan harus
siap kehilangan kamu."
Ia
menggenggam tangan Manda di atas meja. "Aku nyesel Nda."
Tangis
Manda semakin pecah hingga bahunya berguncang. Ia balik menggenggam erat tangan
Aldy.
"Aku sayang kamu Dy."
"Aku
minta maaf Nda," desahnya pilu.
Manda
melepaskan genggaman tangannya lalu pergi meninggalkan Aldy di mejanya. Ia
berlari seraya menutup mulut dengan tangannya, hingga sosoknya pun menghilang
dari pandangan Aldy.
"Masss..."
ia memanggil pelayan kafe.
Tak
lama seorang pelayan datang menghampirinya.
"Minuman
dua.." ucapnya sebelum pelayan itu menyapa.
"Ada
lagi?"
"Itu
aja."
"Oke,
sebentar mohon ditunggu."
Beberapa
saat ia termenung. Menatap kosong ke arah taman yang dipenuhi lampu-lampu
temaram. Betapa bodohnya ia merasa saat itu. Sesak dalam dadanya terasa begitu
nyata. Pangkal tenggorokannya seperti tercekat menyadari bahwa selama ini Manda
memiliki perasaan yang sama dengannya. Namun begitu bodohnya selama itu ia tak
berani mengungkapkan perasaannya pada gadis itu. Air matanya kembali terurai
ketika sadar bahwa sekarang Manda telah menjadi milik org lain. Dan keadaan
memaksanya agar mulai detik ini ia harus menjaga jarak dgn Manda. Seandainya ia
dapat memutar waktu, delapan hari saja. Tanpa ragu dan mengulur waktu ia akan
mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya pada Manda saat itu.
Dan saat ini pasti mereka sudah menjadi sepasang kekasih yang sangat bahagia.
Namun pada kenyataannya ia terlambat. Satu hari sebelum ia mengungkapkan
perasaannya, orang lain telah lebih dulu menyatakan perasaannya pada Manda. Ia
kemudian tersadarkan dari lamunannya ketika seorang pelayan datang membawa
pesanan beserta billnya.
"Lima
belas menit lagi kita closing ya Mas." Ucap pelayan itu.
Ia
menyerahkan dua lembaran merah bernilai seratus ribu. Lalu beranjak pergi
membawa dua botol mansion untuk menemani malamnya. Saat beberapa langkah ia
meninggalkan meja itu, seorang pelayan memanggilnya.
"Mas
kembaliannya.."
Ia
tak menghiraukan pelayan itu, dan segera pergi menghampiri motor rusaknya di
parkiran.
Tengah
malam di taman kencana..
"Malam
yang indah.."
Ucapnya
seraya tersenyum memandang langit tanpa bintang, dua botol mansion yang telah
kosong tergeletak di bawah tubuhnya yang terbaring di sebuah kursi taman yang
panjang.
End.