KONFLIK ANTAR SUKU
BANGSA
Konflik antar sukubangsa yang ditangai secara reaktif, akan
melahirkan konflik antar sukubangsa yang baru dan lebih besar, dan selanjutnya
dapat menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, konsep
pemolisian komuniti harus segera dikuasai oleh seluruh petugas polisi, kemudian
dikenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat secara nasional, dan
dijadikan menjadi sebuah kebijakan nasional yang bukan hanya menjadi domein
tugas polisi, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah dengan membuatnya
menjadi peraturan atau perundangan yang mengikat secara politik.
Bahwa
konflik antar sukubangsa ada dan terwujud dalam hubungan antar sukubangsa, yang
terjadi karena perebutan sumberdaya-sumberdaya berharga dan mempertahankan
kehormatan jati diri dari anggota-anggota komuniti sukubangsa setempat dengan
golongan-golongan sukubangsa lainnya. Konflik antar sukubangsa, pada awalnya
dimulai dari warga sukubangsa yang merasa dirugikan oleh sesuatu perbuatan yang
tidak adil yang dilakukan oleh pihak lawannya, atau karena dirasakan tidak
adanya atau tidak cukupnya aturan main yang adil dan prosedur-prosedur yang
dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang dapat memecahkan
dan menghentikan konflik tersebut.
Perbuatan
merugikan secara tidak adil tersebut kemudian dilihat dalam kerangka yang lebih
biasa yang mengacu pada stereotip dan prasangka yang dipunyai oleh para pelaku
yang dirugikan, yang kemudian mengaktifkan sentimen kesukubangsaan yang penuh
dengan muatan emosi dan perasaan-perasaan untuk menciptakan solidaritas sosial
yang melibatkan warga sukubangsa untuk mencari bantuan dari masing-masing
kerabat dan anggota-anggota sukubangsanya dalam memenangkan konflik yang
terjadi.
Secara hipotesis
konflik antar sukubangsa dapat dicegah bila dalam hubungan-hubungan sosial
antar sukubangsa-sukubangsa yang berbeda, yang terwujud dalam kerjasama,
persaingan dan konflik dalam memperebutkan sumberdaya-sumberdaya berharga dan
mempertahankan kehormatan jaridiri sukubangsa atau kesukubangsaannya, terdapat
aturan-aturan main yang adil, tersedianya saluran-saluran komunikasi yang dapat
mereduksi subyektivitas dari stereotip dalam hubungan antar sukubangsa, dan
adanya penegak hukum sebagai pihak ketiga yang netral dan bertindak selaku
wasit yang adil dan dapat dipercaya oleh masyarakat sukubangsa-sukubangsa
KONFLIK ETNIS
A.
Penyebab Konflik antar Etnis
Berdasarkan tulisan
dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah
Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa
Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di
dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut
terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas
pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah
berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.
Asia dan Afrika adalah
dua benua yang memiliki sejarah peradaban tertua di dunia. dan secara tidak
sengaja, kedua benua ini memiliki berbagai macam etnis,ras, ataupun suku
bangsa. Tentu saja hal ini tidak dapat ditemui di benua Amerika yang merupakan
“peradaban baru” bentukan Eropa. Peradaban-peradaban ini sejak dahulu selalu
terlibat perang suku. Celakanya, perang antar suku dan ras yang terjadi ini
menyimpan dendam diantara semua pihak yang bertikai dan masih terbawa hingga
kini. Dengan demikian, Wolff menyimpulkan bahwa “ethnic conflicts are based on
ancient hatreds between groups fighting in them and that”. Sebagian kecil
konflik yang terjadi adalah akibat isu kontemporer politik ataupun agama.
Etnik atau suku
bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya.
Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak
demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan
terjadinya konflik antar etnis. Misalnya konflik etnis di Kalimantan antara
suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi suku madura pendatang bekerja adalah
suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan
menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah
tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah fahaman ini menyebabkan
terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan korban banyak di
antara kedua suku yang berkonflik tersebut.
Konflik
etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak
mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua
komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997). Konflik etnis seringkali bernuansa
kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki
dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan warga Quebec
untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak
memiliki dimensi kekerasan sama sekali. Banyak konflik lokal suatu masyarakat
sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut
tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja
dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis
karena hakekat konfliknya adalah persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.
Konflik
lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab
yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana
sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan
setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1)
Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3)
Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5)
Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Sementara
itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri
dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2)
karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul
kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain
hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang
menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang
lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya,
seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu
keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini
sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang
untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang
terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang
akan menjadi konflik.
B. Dampak dari Konflik antar Etnis
Konflik dapat
berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf
Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel di dalam posisi
dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi dan
ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam
kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi
konflik yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup.
Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi karena
tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar. Sedangkan
dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan
persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia,
berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
C. Upaya
Penanggulangan Konflik antar Etnis
Dalam mengatasi
dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya
suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot
atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak
ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian
persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi
apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang
demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang
hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih
demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang
lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take
a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi.
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau
mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan
yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk
mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan
diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan
kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1. Abitrasi,
yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal
ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima
serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas
apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2. Mediasi,
yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan
yang mengikat.
3. Konsiliasi,
yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama..
4. Stalemate,
yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini
terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi),
yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan
mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Untuk mengurangi kasus
konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif
dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna
memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak
untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun
consensus.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat
dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi
semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan
kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.
Adapun cara-cara yang lain untuk
memecahkan konflik adalah :
a. Aspek
kualitas warga sukubangsa
1) Perlunya
diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan
terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai
faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2) Perlunya
diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan
stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan
pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan
tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami
perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang
berlaku di dalam masyarakat.
3) Adanya
kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan
dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b. Penerapan
model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya perdamaian
pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik
tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki
kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya
kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang
terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri
sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam
hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian
dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran
pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa
keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini,
Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari
masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua
belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang
terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk
kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan-
permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
SUMBER :
http://buanajurnal.wordpress.com/2013/06/28/konflik-antar-suku-bangsa-dr-h-rycko-amelda-dahniel-m-si/
http://curiousz.blogspot.com/2012/12/konflik-etnis_17.html
0 comments:
Post a Comment